Artikel Artikelku
Sabtu, 21 Februari 2015
Bilal bin Rabah
Bilal bin Rabah
Bilal bin Rabah (Bahasa Arab بلال بن رباح) adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika masih diperbudak. Setelah majikannya mengetahui bahwa Bilal masuk Islam, maka Bilal disiksa terus menerus setiap harinya guna mengembalikannya agar tidak memeluk Islam. Tetapi Bilal tidak mau kembali kepada kekafirannya dan tetap melantunkan "Ahadun Ahad, Ahadun Ahad...".Pada akhirnya Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar dan menjadi sahabat setia Rasulullah saw sampai-sampai Bilal dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bermimpi mendengar suara terompah Bilal di surga. Ketika hukum syariat adzan diperintahkan oleh Allah orang yang pertama kali disuruh oleh Rasulullah untuk mengumandangkannya adalah Bilal bin Rabah, ia dipilih karena suara Bilal sangat merdu.
Abu Hurairah
Abu Hurairah
Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi (bahasa Arab: عبدالرحمن بن صخر الأذدي) (lahir 598 - wafat 678), yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah (bahasa Arab: أبو هريرة), adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnad-nya oleh kaum Islam Sunni.
Ibnu Hisyam berkata bahwa nama asli Abu Hurairah adalah Abdullah bin Amin dan ada pula yang mengatakan nama aslinya ialah Abdur Rahman bin Shakhr.[1]
Daftar isi
Masa muda
Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia diperkirakan lahir 21 tahun sebelum hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi yatim. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah masuk Islam dinikahinya. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdus-Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing. Diriwayatkan atsar oleh Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang mauquf hingga Abu Hurairah. Abdullaah bin Raafi' berkata, "Aku bertanya kepada Abu Hurairah, "Mengapa engkau bernama kuniyah Abu Hurairah?" Ia menjawab, "Apakah yang kau khawatirkan dariku?" Aku berkata, "Benar, demi Allah, sungguh aku khawatir terhadapmu." Abu Hurairah berkata, "Aku dahulu bekerja menggembalakan kambing keluargaku dan di sisiku ada seekor kucing kecil (Hurairah). Lalu ketika malam tiba aku menaruhnya di sebatang pohon, jika hari telah siang aku pergi ke pohon itu dan aku bermain-main dengannya, maka aku diberi kuniyah Abu Hurairah (bapaknya si kucing kecil)." [2]
Menjadi muslim
Thufail bin Amr, seorang pemimpin Bani Daus, kembali ke kampungnya setelah bertemu dengan Nabi Muhammad dan menjadi muslim. Ia menyerukan untuk masuk Islam, dan Abu Hurairah segera menyatakan ketertarikannya meskipun sebagian besar kaumnya saat itu menolak. Ketika Abu Hurairah pergi bersama Thufail bin Amr ke Makkah, Nabi Muhammad mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha Pengasih). Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi muslim, sebelum bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Abu Hurairah pernah meminta Nabi untuk mendoakan agar ibunya masuk Islam, yang akhirnya terjadi. Ia selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi tahun 632 di Madinah.
Peran politik
Umar bin Khattab pernah mengangkat Abu Hurairah menjadi gubernur wilayah Bahrain untuk masa tertentu. Saat Umar bermaksud mengangkatnya lagi untuk yang kedua kalinya, ia menolak. Ketika perselisihan terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, ia tidak berpihak kepada salah satu di antara mereka.
Periwayat hadits
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad, yaitu sebanyak 5.374 hadits. Di antara yang meriwayatkan hadist darinya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain. Imam Bukhari pernah berkata: "Tercatat lebih dari 800 orang perawi hadits dari kalangan sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah".
Marwan bin Hakam pernah menguji tingkat hafalan Abu Hurairah terhadap hadits Nabi. Marwan memintanya untuk menyebutkan beberapa hadits, dan sekretaris Marwan mencatatnya. Setahun kemudian, Marwan memanggilnya lagi dan Abu Hurairah pun menyebutkan semua hadits yang pernah ia sampaikan tahun sebelumnya, tanpa tertinggal satu huruf.
Salah satu kumpulan fatwa-fatwa Abu Hurairah pernah dihimpun oleh Syaikh As-Subki dengan judul Fatawa' Abi Hurairah. Abu Hurairah sejak kecil tinggal bersama Rasulullah.[3]
Keturunan
Abu Hurairah termasuk salah satu di antara kaum fakir muhajirin yang tidak memiliki keluarga dan harta kekayaan, yang disebut Ahlush Shuffah, yaitu tempat tinggal mereka di depan Masjid Nabawi. Abu Hurairah mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said bin Musayyib, yaitu salah seorang tokoh tabi'in terkemuka.
Wafat
Pada tahun 678 atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, meninggal di Madinah, dan dimakamkan di Baqi'.
Referensi
-
^ As Sirah An Nabawiyah li Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al Muafiri (Ibnu Hisyam)
-
^ Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Sa'iid Al-Muraabithiy, telah
menceritakan kepada kami Rauh bin 'Ubaadah, telah menceritakan kepada
kami Usaamah bin Zaid, dari 'Abdullaah bin Raafi', ia berkata, aku
bertanya kepada Abu Hurairah. Jaami' At-Tirmidzi no. 3805, Imam At-Tirmidzi berkata, "hasan gharib."
-
Mursi, Muhammad Said. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI & Achmad Fauzan, Lc, MAg. Cet-1, Jakarta. Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Abu Sufyan ibn Harb
Abu Sufyan ibn Harb
Sakhr ibn Harb (Arabic: صخر بن حرب), more commonly known as Abu Sufyan (1 September 560 - 1 August 652), was the leader of the Quraish tribe of Mecca. He was a staunch opponent of the Islamic prophet Muhammad before accepting Islam and becoming a Muslim warrior later in his life. His mother, Safia, is the paternal aunt of Maymuna bint al-Harith.
Biography
Opposition to Islam
Abu Sufyan was the chieftain of the Banu Abd-Shams clan of the Quraish tribe, which made him one of the most powerful in Mecca. At first Abu Sufyan opposed Islam and the Prophet Muhammad's message, however he later accepted Islam and became a warrior and soldier in the Muslim army.
Abu Sufyan's brother Musab was among several Muslims who migrated to Abyssinia to escape persecution in Mecca.
Military conflict with Muhammad
Main article: List of expeditions of Muhammad
After Muhammed and other Muslims had migrated to Medina in 622, the Quraish confiscated the belongings they had left behind. During that period of time, caravans were accompanied by military escorts of varying strength.
Due to the hospitality Muhammad received in Medina, the Meccans feared the growing influence of the Muslims and thus were contriving to safeguard their trade routes by eliminating the religion of Islam. The Muslims of Medina were aware of such activities and began to make preparations for self-defense.[1]
In 624, Abu Sufyan was the appointed leader of a large merchant caravan carrying a fortune of the Quraysh's goods to Syria for trade. The caravan was escorted by a force of around 40 or 50 soldiers. Muhammad had learned that the caravan was passing close to Medina en route to Syria and organized a Muslim force of 300 men to intercept it and repossess the goods that the Quraysh had stolen from the Muslims due to their absence in Mecca. Around this time, it is related that God revealed to Muhammad that his people were now given permission to go after those who had oppressed them, driven them from their homes (in Mecca) and confiscated their property (some of which the Quraish put on this same caravan). However, the Muslim contingent Muhammad had assembled failed to intercept the caravan. They arrived after the caravan had already passed by Medina. Abu Sufyan had learned of the Muslims plan from scouts he had deployed, and in response, sent a crier to Mecca to rally the Quraish to arms against the Muslims. The Muslims ended up engaging this Meccan army, a force of around 1000 men, at the plains of Badr several days after they had failed to intercept the caravan. This conflict, the Battle of Badr, ultimately resulted in a Muslim victory. The death of most Quraish leaders in the battle not only left Abu Sufyan the leader of Mecca, but also marked the fulfillment of the Qur'anic prophecy in verse 30:3.[1]
Abu Sufyan served as the military leader in the later Meccan campaigns against Medina, including the Battle of Uhud in 625 and the Battle of the Trench in 627, but he could not attain final victory.
Eventually the two parties agreed to an armistice, the Treaty of Hudaybiyya in 628, which allowed Muslims to make the pilgrimage to the Kaaba.
http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Sufyan_ibn_Harb
Jumat, 20 Februari 2015
Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas (Bahasa Arab عبد الله بن عباس) adalah seorang Sahabat Nabi, dan merupakan anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman dari Rasulullah Muhammad SAW. Dikenal juga dengan nama lain yaitu Ibnu Abbas (619 - Thaif, 687/68H).
Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang berpengetahuan luas, dan banyak hadits sahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta dia juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah.
Biografi
Keluarga
Dia merupakan anak dari keluarga yang kaya dari perdagangan bernama Abbas bin Abdul-Muththalib, maka dari itu dia dipanggil Ibnu Abbas, anak dari Abbas. Ibu dari Ibnu Abbas adalah Ummu al-Fadl Lubaba, yang merupakan wanita kedua yang masuk Islam, melakukan hal yang sama dengan teman dekatnya Khadijah binti Khuwailid, istri Rasululah.[1]
Ayah dari Ibnu Abbas dan ayah dari Muhammad merupakan anak dari orang yang sama, Syaibah bin Hâsyim, lebih dikenal dengan nama Abdul-Muththalib. Ayah orang itu adalah Hasyim bin Abdulmanaf, penerus dari Bani Hasyim klan dari Quraisy yang terkenal di Mekkah. Ibnu Abbas juga memiliki seorang saudara bernama Fadl bin Abbas
Hadis Tentang-nya
Ibnu Abbas pernah didekap Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berkata, Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah. Yang dimaksud hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur'an.
Ibnu Abbas pernah melihat Malaikat Jibril dalam dua kesempatan, Ibnu Abbas berkata:
Aku bersama bapakku di sisi Rasulullah dan di samping Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Maka seakan-akan dia berpaling dari bapakku. Kemudian kami beranjak dari sisi Rasulullah seraya bapakku berkata, Wahai anakku, tahukah engkau kenapa anak laki-laki pamanmu (Rasulullah) seperti berpaling (menghindari aku)? Maka aku menjawab, Wahai bapakku, sesungguhnya di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Ibnu Abbas berkata, Kemudian kami kembali ke hadapan Rasulullah lantas bapakku berkata, Ya Rasulullah aku berkata kepada Abdullah seperti ini dan seperti itu, kemudian Abdullah menceritakan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki di sampingmu yang berbisik-bisik kepadamu. Apakah benar memang ada seseorang di sampingmu? Rasulullah balik bertanya, Apakah engkau melihatnya ya Abdullah? Kami menjawab, Ya. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya ia adalah Jibril alaihiwassalam. Dialah yang menyibukkan kami dari kamu sekalian.
Abbas mengutus Ibnu Abbas kepada Rasulullah dalam suatu keperluan, dan Ibnu Abbas menjumpai Rasulullah bersama seorang laki-laki. Maka tatkala ia kembali dan tidak bicara kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda, Engkau melihatnya ? Abdullah (Ibnu Abbas) menjawab, Ya, Rasulullah bersabda, Ia adalah Jibril. Iangatlah sesungguhnya ia tidak akan mati sehingga hilang pandangannya (buta) dan diberi (didatangkan ilmu).
Ia pernah di doakan Nabi dua kali, saat didekap dia dan saat ia melayani Rasulullah dengan mengambil air wudlu, Rasululah berdoa, Ya Allah fahamkanlah (faqihkanlah) ia. (HR. Muslim)
Ibnu Abbas wafat pada tahun 78 hijriyah, dalam usia 75 tahun, diriwayat lain 81 tahun. Dari Ibnu Jubair menceritakan, bahwa Ibnu Abbas wafat di Thaif.
Biografi
Keluarga
Dia merupakan anak dari keluarga yang kaya dari perdagangan bernama Abbas bin Abdul-Muththalib, maka dari itu dia dipanggil Ibnu Abbas, anak dari Abbas. Ibu dari Ibnu Abbas adalah Ummu al-Fadl Lubaba, yang merupakan wanita kedua yang masuk Islam, melakukan hal yang sama dengan teman dekatnya Khadijah binti Khuwailid, istri Rasululah.
Ayah dari Ibnu Abbas dan ayah dari Muhammad merupakan anak dari orang yang sama, Syaibah bin Hâsyim, lebih dikenal dengan nama Abdul-Muththalib. Ayah orang itu adalah Hasyim bin Abdulmanaf, penerus dari Bani Hasyim klan dari Quraisy yang terkenal di Mekkah. Ibnu Abbas juga memiliki seorang saudara bernama Fadl bin Abbas
Hadis Tentang-nya
Ibnu Abbas pernah didekap Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berkata, Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah. Yang dimaksud hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur'an.
Ibnu Abbas pernah melihat Malaikat Jibril dalam dua kesempatan, Ibnu Abbas berkata:
Aku bersama bapakku di sisi Rasulullah dan di samping Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Maka seakan-akan dia berpaling dari bapakku. Kemudian kami beranjak dari sisi Rasulullah seraya bapakku berkata, Wahai anakku, tahukah engkau kenapa anak laki-laki pamanmu (Rasulullah) seperti berpaling (menghindari aku)? Maka aku menjawab, Wahai bapakku, sesungguhnya di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Ibnu Abbas berkata, Kemudian kami kembali ke hadapan Rasulullah lantas bapakku berkata, Ya Rasulullah aku berkata kepada Abdullah seperti ini dan seperti itu, kemudian Abdullah menceritakan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki di sampingmu yang berbisik-bisik kepadamu. Apakah benar memang ada seseorang di sampingmu? Rasulullah balik bertanya, Apakah engkau melihatnya ya Abdullah? Kami menjawab, Ya. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya ia adalah Jibril alaihiwassalam. Dialah yang menyibukkan kami dari kamu sekalian.
Abbas mengutus Ibnu Abbas kepada Rasulullah dalam suatu keperluan, dan Ibnu Abbas menjumpai Rasulullah bersama seorang laki-laki. Maka tatkala ia kembali dan tidak bicara kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda, Engkau melihatnya ? Abdullah (Ibnu Abbas) menjawab, Ya, Rasulullah bersabda, Ia adalah Jibril. Iangatlah sesungguhnya ia tidak akan mati sehingga hilang pandangannya (buta) dan diberi (didatangkan ilmu).
Ia pernah di doakan Nabi dua kali, saat didekap dia dan saat ia melayani Rasulullah dengan mengambil air wudlu, Rasululah berdoa, Ya Allah fahamkanlah (faqihkanlah) ia. (HR. Muslim)
Ibnu Abbas wafat pada tahun 78 hijriyah, dalam usia 75 tahun, diriwayat lain 81 tahun. Dari Ibnu Jubair menceritakan, bahwa Ibnu Abbas wafat di Thaif.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_bin_Abbas
KHALID BIN WALID, R.A
Khalid bin Walid, Panglima Perang, si Pedang Allah( cerita panjang)
Pribadi yang mengaku tidak tahu dimana dan dari mana kehidupannya bermula, kecuali di suatu hari dimana ia berjabat tangan dengan Rasulullah saw, berikrar dan bersumpah setia….saat itulah dia merasa dilahrikan kembali sebagai manusia “Dialah orang yang tidak pernah tidur, dan tidak membiarkan orang lain tidur.”
Suatu saat Khalid bin Walid pernah menceritakan perjalanannya dari Mekah menuju Madinah kepada Rasulullah:
“Aku menginginkan seorang teman seperjalanan, lalu kujumpai Utsman bin Thalhah; kuceritakan kepadanya apa maksudku, ia pun segera menyetujuinya. Kami keluar dari kota Mekah sekitar dini hari, di luar kota kami berjumpa dengan Amr bin Ash.
Maka berangkatlah kami bertiga menuju kota Madinah, sehingga kami sampai di kota itu di awal hari bulan Safar tahun yang ke delapan Hijriyah. Setelah dekat dengan Rasulullah saw kami memberi salam kenabiannya, Nabi pun membalas salamku dengan muka yang cerah. Sejak itulah aku masuk Islam dan mengucapkan syahadat yang haq…”
Rasulullah bersabda, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa anda mempunyai akal sehat, dan aku berharap, akal sehat itu hanya akan menuntun anda kejalan yang baik…” Oleh karena itulah, aku berjanji setia dan bai’at kepada beliau, lalu aku Mohon “Mohon Rasulullah mintakan ampun untukku terhadap semua tindakan masa laluku yang menghalangi jalan Allah…”
Dalam perang Muktah, ada tiga orang Syuhada Pahlawan, mereka adalah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, mereka bertiga adalah Syuhada Pahlawan si Pedang Allah di Tanah Syria. Untuk keperluan perang Muktah ini, pasukan musuh, Pasukan Romawi mengerahkan sekitar 200.000 prajurit.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Panji perang di tangan Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersama panjinya sampai ia tewas. Kemudian panji tersebut diambil alih oleh Ja’far, yang juga bertempur bersama panjinya sampai ia gugur sebagai syahid. Kemudian giliran Abdullah bin Rawahah memegang panji tersebut sambil bertempur maju, hingga ia juga gugur sebagai Syahid.”
“Kemudian panji itu diambil alih oleh suatu Pedang dari pedang Allah, lalu Allah membukakan kemenangan di tangannya.”
Sesudah Panglima yang ketiga gugur menemui syahidnya, dengan cepat Tsabit bin Arqam menuju bendera perang tersebut, lalu membawanya dengan tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan Islam agar barisan mereka tidak kacau balau, dan semangat pasukan tetap tinggi…
Tak lama sesudah itu, dengan gesit ia melarikan kudanya kearah Khalid bin Walid, sambil berkata kepadanya, “Peganglah panji ini, wahai Abu Sulaiman…!”
Khalid merasa dirinya sebagai seorang yang baru masuk Islam, tidak layak memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat orang-orang Anshor dan Muhajirin yang terlebih dahulu masuk Islam daripadanya, Sopan, Rendah hati, arif bijaksana, itulah sikapnya. Ketika itu ia menjawab, “Tidak….. jangan saya yang memegang panji suci ini, engkaulah yang paling berhak memegangnya, engkau lebih tua, dan telah menyertai perang Badar!”
Tsabit menjawab, “Ambillah, sebab engkau lebih tahu siasat perang daripadaku, dan demi Allah aku tidak akan mengambilnya, kecuali untuk diserahkan kepadamu!” kemudian ia berseru kepada semua pasukan muslim, Bersediakah kalian di bawah pimpinan Khalid?” mereka menjawab, “Setuju!”
Dengan gesit panglima baru ini melompati kudanya, di dekapnya panji suci itu dan mencondongkannya kearah depan dengan tangan kanannya, seakan hendak memecahkan semua pintu yang terkunci itu, dan sudah tiba saatnya untuk di dobrak dan diterjang. Sejak saat itulah, kepahlawanannya yang luar biasa, terkuak dan mencapai titik puncak yang telah ditentukan oleh Allah baginya…
Saat perang Muktah inilah korban di pihak kaum muslimin banyak berjatuhan, dengan tubuh-tubuh mereka berlumuran darah, sedang balatentara Romawi dengan jumlah yang jauh lebih besar, terus maju laksana banjir yang terus menyapu medan tempur.
Dalam situasi yang sangat sulit itu, tak ada jalan dan taktik perang yang bagaimanapun, akan mampu merubah keadaan. Satu-satunya jalan yang dapat dilakukan oleh seorang Komandan perang, ialah bagaimana melepaskan tentara Islam ini dari kemusnahan total, dengan mencegah jatuhnya korban yang terus berjatuhan, serta berusaha keluar dari keadaan itu dengan sisa-sisa yang ada dengan selamat
Pada saat yang genting itu, tampillah Khalid bin Walid, si Pedang Allah, yang menyorot seluruh medan tempur yang luas itu, dengan kedua matanya yang tajam. Diaturnya rencana dan langkah yang akan diambil secepat kilat, kemudian membagi pasukannya kedalam kelompok-kelompok besar dalam suasana perang berkecamuk terus. Setiap kelompok diberinya tugas sasaran masing-masing, lalu dipergunakanlah seni Yudhanya yang membawa mukjizat, dengan kecerdikan akalnya yang luar biasa, sehingga akhirnya ia berhasil membuka jalur luas diantara pasukan Romawi. Dari jalur itulah seluruh pasukan Muslim menerobos dengan selamat. Karena prestasinya dalam perang inilah Rasulullah menganugrahkan gelar kepada Khalid bin Walid, “Si Pedang Allah yang senantiasa terhunus”.
Sepeninggal Rasulullah, wafat, Abu Bakar memikul tanggung jawab sebagai Khalifah. Dia menghadapi tantangan yang sangat besar dan berbahaya, yaitu gelombang kemurtadan yang hendak menghancurkan agama yang baru berkembang ini. Berita-berita tentang pembangkangan kaum-kaum dan suku-suku Di Jazirah Arab ini, dari waktu ke waktu semakin membahayakan. Dalam keadaan genting seperti ini, Abu Bakar sendiri maju untuk memimpin pasukan Islam. Tetapi para sahabat utama tidak sepakat dengan tindakan Abu Bakar ini. Semuanya sepakat untuk meminta Khalifah agar tetap tinggal di Madinah.
Sayyidina Ali terpaksa menghadang Abu Bakar dan memegang tali kekang kuda yang sedang di tungganginya untuk mencegah keberangkatannya bersama pasukannya menuju medan perang, sembari berkata, “Hendak kemana Engkau wahai Khalifah Rasulullah, akan kukatakan kepadamu apa yang pernah dikatakan Rasulullah di hari Uhud: “Simpanlah pedangmu wahai Abu Bakar, jangan engkau cemaskan kami dengan dirimu!”
Di hadapan desakan dan suara bulat kaum muslimin, Khalifah terpaksa menerima untuk tetap tinggal di kota Madinah. Maka setelah itu, di bagilah tentara Islam menjadi sebelas kesatuan, dengan beban tugas tertentu. Sedang sebagai kepala dari keseluruhan pasukan tersebut, diangkatlah Khalid bin Walid. Dan setelah menyerahkan bendera kepada masing-masing komandannya, Khalifah mengarahkan pandangan kepada Khalid bin Walid, sambil berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, bahwa sebaik-baik hamba Allah dan kawan sepergaulan, ialah Khalid bin Walid, sebilah pedang diantara pedang Allah yang ditebaskan kepada orang-orang kafir dan munafik…!”
Khalid pun segera melaksanakan tugasnya dengan berpindah-pindah dari suatu tempat medan tempur ke pertempuran yang lain, dari suatu kemenangan ke kemenangan berikutnya.
Datanglah perintah dari Khalifah Abu Bakar, kepada Panglima yang tak tertandingi ini, agar berangkat menuju Yamamah untuk memerangi Bani Hanifah bersama kabilah-kabilah yang telah bergabung dengan mereka yang terdiri dari gabungan aneka ragam tentara murtad yang paling berbahaya. Pasukan ini di pimpin oleh Musalimah al-Kadzdzab..
Khalid bersama pasukannya mengambil posisi di dataran bukit-bukit pasir Yamamah, dan menyerahkan bendera perang kepada komandan-komandan pasukannya, sementara Musailamah menghadapinya dengan segala kecongkakan dan kedurhakaan bersama dengan pasukan tentaranya yang sangat banyak, seakan-akan tak akan habis-habisnya.
Di tengah pertempuran yang berkecamuk amat dahsyat ini, Khalid melihat keunggulan musuh, ia lalu memacu kudanya ke suatu tempat tinggi yang terdekat, lalu ia melayangkan pandangannya ke seluruh medan tempur. Pandangan cepat yang diliputi ketajaman dan naluri perangnya, dengan cepat ia dapat mengetahui dan menyimpulkan titik kelemahan pasukannya.
https://id-id.facebook.com/notes/islam-itu-indah-learning-to-be-a-mukmin/khalid-bin-walid-panglima-perang-si-pedang-allah-cerita-panjang/259224324094092
Ali bin Abi Thalib
‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب) (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Daftar isi
1 Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib 1.1 Syi'ah 1.2 Ahlussunnah 1.3 Sufi 2 Riwayat Hidup 2.1 Kelahiran & Kehidupan Keluarga 2.1.1 Kelahiran 2.1.2 Kehidupan Awal 2.2 Masa Remaja 2.3 Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah 2.4 Kehidupan di Madinah 2.4.1 Perkawinan 2.4.2 Julukan 2.4.3 Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw 2.4.3.1 Perang Badar 2.4.3.2 Perang Khandaq 2.4.3.3 Perang Khaibar 2.4.3.4 Peperangan lainnya 2.5 Setelah Nabi wafat 2.6 Sebagai khalifah 3 Keturunan 4 Lihat pula 5 Referensi 6 Pranala luar
sumber : wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
Langganan:
Postingan (Atom)